Ikhtisharul
hadits artinya: meringkas hadits.
Maksudnya
menyisihkan sebagian dari hadits, dengan meriwayatkan sebagian yang lain.
Dalam
pembicaraan ini, termasuk juga:
a.
Mendahulukan
susunan yang semestinya di akhir, dan mengakhirkan susunan yang semestinya di
permulaan.
b.
Dari
hadits panjang, diambil apa yang dirasa perlu saja.
Mengikhtisharkan
hadits memang boleh asal ringkasannya tidak membawa kekeliruan dan salah faham,
sehingga bisa menyebabkan tidak betul dalam membatas satu-satu masalah atau
menetapkan suatu hukum agama.
Perhatikan
contoh berikut:
لَا
يَنْظُرُ اَللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
“Allah tidak akan melihat orang yang menjuntai
pakaiannya terseret dengan sombong." Muttafaq Alaihi.
Hadits
tersebut kalau kita ringkaskan dengan meninggalkan perkataan yang paling akhir,
akan jadi begini (لَا يَنْظُرُ اَللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ
ثَوْبَهُ). Maka dari ringkasan ini orang bisa salah
faham, bahwa Allah tidak suka melihat kepada orang yang melabuhkan kainnya,
baik karena sombong atau tidak. Oleh karena itu ikhtishar yang seperti diatas
tidak diperbolehkan karena membuat orang salah faham. Dan kata (خُيَلَاءَ) mesti disebut. Karena kalau tidak disebut akan membuat orang
salah faham.
Apakah
boleh meringkas suatu hadits?
Ahlul
ilmi berbeda pendapat padanya: Maka diantara mereka ada yang melarang secara
mutlaq, juga yang melarang tapi membolehkan riwayat bilma’na apabila pada
kesempatan lain ia meriwayatkan secara sempurna. Dan diantara mereka ada juga
yang membolehkan secara mutlaq tanpa ada rincian.
Kesimpulan:
Mengikhtisar
hadits memang dibolehkan asalkan ringkasannya tidak membawa kekeliruan dan
salah paham dalam menentukan hukum-hukum agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar