Rabu, 26 September 2012

TEOLOGI DALAM BENTUK APLIKASI


Gelapnya malam menemani kesendirianku, yang diiringi rintik hujan dengan ritme yang berbeda, tetapi  tidak mengubah keindahan malam yang aku lalui dengan sebuah perenungan yang membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk menjawab apa yang aku renungkan.
Waktu berlalu hari berganti, namun semuanya selalu seperti ini yang ku dapati, akankah semua ini hanya sebatas imajinasi? Sekian banyak perjalanan hidup orang-orang yang ku pelajari hingga menghasilkan sebuah kesimpulan dalam hati, ternyata hal yang paling fundamental itu bukan melakukan apa yang kita ingini, tetapi melakukan apa yang kita yakini.
Keterbatasanku mengartikan apa yang Engkau tuangkan dalam kitab suci yang tidak pernah ada bandingan sampai akhir zaman. Yang saat ini aku yakini itu adalah kebenaran yang mutlak, yang mesti aku jalani dan imani. Walaupun sebagian ada doktrin dari nenek moyangku yang masih menancap dalam otakku, akan kebenaran yang mutlak itu,yang kini menjadi sebagian keyakinan turunan bukan sepenuhnya menjadi keyakinan tuntunan untuk ku. Sampai-sampai seseorang yang mempunyai pola fikir filsafat berdiskusi denganku, hingga menghasilkan sebuah pertanyaan,”keyakinan dan kebenaran apa yang dirasakan para Shahabat Rasul,hingga mereka mampu mewakafkan jiwa, raga dan harta mereka hanya demi kebenaran yang mereka yakini. Sedangkan aku????
                Dengan gagah dan bangganya aku berkata,”saya yakin akan apa yang menjadi pedoman saya saat ini”. Tetapi dalam realitasnya itu hanya sebuah nol besar. Aku terlalu melayang diatas awan serta apatis tentang apa yang ada dibumi. Maka dari itu sebelumnya aku berkata,”ikutilah apa yang kita yakini bukan apa yang kita ingini”, itu menjadi sebuah tolakukur bahwa aku mesti mencoba meyelam untuk mentafakuri keyakinan aku yang masih dimiliki saat ini, seperti keyakinan para Shahabat yang mereka yakini bahwa pedoman ini satu-satunya kebenaran yang mengantarkan mereka kepada kebahagiaan yang haqiqi.
Keyakinan kita saat ini terhadap semua itu kalau boleh dianalogikan seperti kita terlalu asyik bermain-main dipinggir laut, keindahan serta ketenangan serasa sudah cukup bagi kita tanpa kita peduli bahwa hal itu benar atau tidak untuk kita, padahal kalau kita berusaha mencoba menyelam kedalam laut itu, aku yakin, kita akan mendapatkan sebuah ketenangan dan keindahan melebihi apa yang kita rasakan saat berada dipinggir laut. Terlalu sempitnya pemikiran kita kalau merasa cukup akan apa yang sudah kita rasakan dipinggir laut, dan menjadikan diri kita apatis akan apa yang ada didasar laut sana. Lain halnya dengan para Shahabat, mereka terus berusaha meyelam kedasar laut untuk mendapatkan sebuah ketenangan yang melebihi saat mereka berada di pinggir laut.
Renunganku yang membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mendapatkan jawaban akan apa yang aku renungkan ini. Karena dalam sudut pandang filasafat manusia adalah hewan berpikir. Berpikir adalah bertanya. Bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Jadi manusia itu mahluk pencari kebanaran. Sehingga menghasilkan keyakinan untuk kita seperti keyakinan para Shahabat kala itu.

Oleh: Diaz al-Faruq

Kamis, 20 September 2012

Ma’rifat Kepada Allah SWT.


Ma’rifat kedapa Allah SWT  adalah fondasi tempat berdirinya Islam secara keseluruhan. Tanpa ma’rifat ini, seluruh amal ibadah dalam Islam atau untuk Islam menjadi tidak memiliki nilai hakiki. Ini dikarenakan dalam posisi itu, orang tersebut kehilangan “Roh”nya ;
Apa nilai amal yang tidak memiliki roh ?
Bagaimana kita mengenal Allah ? jalan apa yang harus ditempuh untuk menuju ma’rifat ini ? pertanyaan ini yang harus dijawab, karena jika kita tidak mengetahui jalannya, kita tidak akan sampai kepada jalan yang kita inginkan.
Banyak orang, baik pada masa lalu maupun pada masa kini, yang mengingkari wujud Allah, dengan alasan mereka tidak dapat merasakan keberadaan-Nya dengan indera mereka. Mereka berpendapat bahwa jalan untuk mengetahui segala sesuatu adalah indera itu. Karena itu, mereka menuduh orang-orang ysng beriman kepada Allah sebagai para pengkhayal, seat, sakit jiwa, tidak ilmiah, dan tuduhan-tuduhan lainnyayang dialamatkan oleh orang kafir terhadap kaum beriman. Dengan alasan, orang yang beriman mengimani wujud Allah bukan dengan jalan inderawi.
Mereka hanya berkata bahwa mereka hanya mengimani apa yang dapat ditangkap oleh indra mereka saja. Padahal dalam realitas material tempat mereka hidup itu sudah terbantahkan akan semua hujah mereka. Misalnya mereka mengimani akan adanya kekuatan gravitasi dan hukumnya , meskipun mereka melihat keberadaannya secara inderawi. Serta mereka mengimani Rasio meskipun mereka tidak melihat wujudnya. Dan mereka semata-mata hanya melihat hasilnya saja.
Apakah mereka benar ketika mereka membatasi semua pengetahuan hanya melalui jalan indera, serta yang mampu tertangkap oleh akal? Padahal kalau kita sedikit mencoba memahami akan keberadaan akal itu sendiri, kebenarannya itu relatif. Walaupun penggunaan akal itu dengan cara komfrehensif, dan sistematis. Tetapi tetap saja cara penyimpulannya hanya spekulatif saja, dengan data yang mampu tertangkap oleh inderanya. Sebagai contoh, kita selalu merasa bahwa kita sedang berjalan dengan kepala di atas meskipun kita berada dikutub utara, selatan, atau digaris khatulistiwa.
Persepsi yang salah tentang ma’rifat kepda Allah ini, adalah salah satu unsur terbesar yang menjauhkan banyak manusia dari jalan keimanan yang shahih kepada Allah, padalah kesalahan persepsi ini amat jelas.

Salah satu jawaban fitrah yang sangat menarik tentang masalah ini adalah anekdot berikut ini. Di sebuah sekolah dasar, seorang guru SD berkata kepada murid kelas enam SD,
Guru : “apakah kalian melihat diri saya?”
Murid : Ya.”
Guru : “ dengan begitu, berarti saya ada,”
Guru : “apakah kalian melihat papantulis?”
Murid : Ya.”
Guru : “ dengan begitu, berarti papantulis itu ada,”
Guru : “apakah kalian melihat Tuhan?”
Murid : tidak.”
Guru : “ dengan begitu, berarti Tuhan itu tidak ada,”
Selanjutnya, seorang murid yang cerdas berdiri dan bertanya kepada teman-temannya, “ apakah kalian melihat akal Guru kita?”
Teman-temannya menjawab, “ tidak.”
Dengan demikian, akal guru kita tidak ada!”
Persepsi ini telah menjadi pegangan banyak orang kafir, semenjak zaman dulu, padahal Al-Quran al-Karim telah memberitakan kebenarannya yang akan menuntun mereka kejalan yang diridhoi Allah. Tetapi mereka tetap saja mengingkarinya dikarenakan dalam diri mereka sudah tertanam sifat sombong angkuh dan lain-lain.
Berbeda dengan orang yang beriman, mereka selalu tunduk dan patuh akan apa yang diperintahkan serta yang dilarang oleh Allah Swt. Cara mereka berma’rifat kepada Allah, mereka membebaskan diri dari ke zhaliman, dusta, dari kelalaian, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, menjauhkan diri dari kerguan dalam menerima kebenaran yang amat jelas dengan melihat serta merenungi semua ciptaan-Nya.

IKHTISHAR AL-HADITS


Ikhtisharul hadits artinya: meringkas hadits.
Maksudnya menyisihkan sebagian dari hadits, dengan meriwayatkan sebagian yang lain.
Dalam pembicaraan ini, termasuk juga:
a.    Mendahulukan susunan yang semestinya di akhir, dan mengakhirkan susunan yang semestinya di permulaan.
b.    Dari hadits panjang, diambil apa yang dirasa perlu saja.
Mengikhtisharkan hadits memang boleh asal ringkasannya tidak membawa kekeliruan dan salah faham, sehingga bisa menyebabkan tidak betul dalam membatas satu-satu masalah atau menetapkan suatu hukum agama.
Perhatikan contoh berikut:
لَا يَنْظُرُ اَللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
 “Allah tidak akan melihat orang yang menjuntai pakaiannya terseret dengan sombong." Muttafaq Alaihi.
Hadits tersebut kalau kita ringkaskan dengan meninggalkan perkataan yang paling akhir, akan jadi begini (لَا يَنْظُرُ اَللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ). Maka dari ringkasan ini orang bisa salah faham, bahwa Allah tidak suka melihat kepada orang yang melabuhkan kainnya, baik karena sombong atau tidak. Oleh karena itu ikhtishar yang seperti diatas tidak diperbolehkan karena membuat orang salah faham. Dan kata (خُيَلَاءَ) mesti disebut. Karena kalau tidak disebut akan membuat orang salah faham.
Apakah boleh meringkas suatu hadits?
Ahlul ilmi berbeda pendapat padanya: Maka diantara mereka ada yang melarang secara mutlaq, juga yang melarang tapi membolehkan riwayat bilma’na apabila pada kesempatan lain ia meriwayatkan secara sempurna. Dan diantara mereka ada juga yang membolehkan secara mutlaq tanpa ada rincian.
Kesimpulan:
Mengikhtisar hadits memang dibolehkan asalkan ringkasannya tidak membawa kekeliruan dan salah paham dalam menentukan hukum-hukum agama.

Senin, 17 September 2012

ISIM DITINJAU DARI SEGI BUN-YATI (JENIS HURUF)

Isim ditinjau dari segi bun-yati atau jenis huruf terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.                   Isim shohih akhir, dan
2.                   Isim ghair shahih
Isim shohih akhir ialah isim yang seluruh hurufnya memiliki harokat dan berbunyi secara normal, atau bisa dikatakan huruf akhir dalam isim tersebut bukan huruf illat. Contoh: رَجُلٌ, ذَكَرٌ
Dalam isim shahih ada pula yang di sebut dengan isim syibhu shahih akhir, yaitu apabila ada huruf illat namun sebelumnya ada huruf yang berharokat sukun, seperti: ظِبْيٌ, هَدْيٌ.
Sedangkan isim ghair shahih akhir ialah isim yang terdapat padanya huruf illat. Isim ghair shahih akhir terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1.       الاسم المقصور (isim maqshur)
2.       الاسم المنقوص (isim manqush)
3.       الاسم ممدود (isim mamdud)
Isim Maqshur
Isim maqshur ialah semua isim mu’rob yang huruf akhirnya adalah huruf alif laajimah ashliyah. Isim maqshur ada yang ditulis dengan alif seperti:  العَصَا, dan ada pula yang ditulis dengan ya’ seperti: مُوْسَى.
Namun alif yang terdapat dalam isim maqshur tidak selamanya alif lajimah ashliyah, adakalanya alif tersebut alif manqalibah (pengganti) dan kadang-kadang alif majîdah (tambahan).
Alif pengganti terbagi kepada 2, yaitu pengganti dari و dan pengganti dari  ي. Alif pengganti dari و digambarkan dengan ا (alif).  Contoh alif sebagai pengganti dari و: العَصَا. Dan alif sebagai pengganti dari ي digambarkan dengan ى. Contoh alif sebagai pengganti dari ي : الفَتَى. Hal ini dapat diketahui bentuk mutsana dari dua contoh tersebut yaitu:  عَصْوَانِ, dan فُتْيَانِ.
Adapun alif majiidah ialah alif yang ditambahkan pada isim untuk menunjukan muanats. Seperti: الحُبْلَى yang berasal dari kata الحُبْلُ.
Maka alif ini dinamakan dengan alif maqsuroh. Adapun penggambaran alif maqshurah tergantung dari asal kata pada kalimat tersebut. Apabila asal katanya 4 huruf atau lebih dan 3 huruf namun huruf aslinya huruf ي, maka digambarkan dengan huruf ى, seperti: مُسْطَفَى, مُسْتَشْفَى, الفَتَى. Dan digambarkan dengan huruf alif apabila huruf asalnya itu و, seperti: العَصَا, العَلَا, الرِبَا .
Isim maqshur terbagi menjadi 2 macam, yaitu: maqshur qiyasi dan maqshur samâi.
Dalam isim maqshur qiyasi terdapat 10 macam isim yang mu’tal akhir, yaitu:
1.       Masdar dari fiil lajim atas wazan فَعِلَ dengan dikasrohkan ainnya wazannya فَعَلٌ dengan difathahtai. Seperti: رَضِيَ رِضًا
2.       Apabila atas wazan فِعَلٍ dengan dikasrohkan fa’ fiilnya maka menjadi fathah ainnya dan merupakan jama’ dari فِعْلَةٌ dengan dikasrohkan fa’nya maka menjadi sukun ‘ainnya. Seperti:  مِرًى jamaknya مِرْيَةٌ
3.       Apabila keadaanya atas wazan فُعَلَ dengan di domah fa’nya maka menjadi fathah ‘ainnya dan merupakan jamanya فُعْلَةً dengan di domah fa’nya maka menjadi sukun ‘ainnya. Seperti: عُرًى jamaknya    عُرْوَةٌ
4.       Apabila keadaanya atas wazan فَعَلَ dengan difathah keduanya dari antara isim jinsi (isim jenis) yang menunjukan kepada banyak apabila banyak apabila kosong dari huruf ‘ta’. Seperti: حَصَاةٍ  jadi    حَصًى
5.       Isim maf’ul yang menunjukan pekerjaan yang telah lalu yang terdiri dari tiga huruf. Seperti: مُصْطَفًى
6.       Wazan مَفْعَلٌ dengan difathah mim dan ainnya yang menunjukan kepada masdar, isim jaman dan isim makan. Seperti: المَحْيَا
7.       Wazan مِفْعَلٌ dengan dikasroh mim dan ‘ain yang menunjukan isim alat. Seperti: المِكْوَى
8.       Wazan اَفْعَلُ sebagai sifat untuk menunjukan tafdzil (keutamaan) atau ghoir tafdzil (bukan keutamaan). Seperti: الاَحْوَى
9.       Jama muanats dari اَفْعِلَ untuk menunjukan tafdzil (nilai keutamaan). Seperti: الدُنْيَا
10.   Muanats dari wazan اَفْعَلَ unutk menunjukan tafdzil (nilai keutamaan) dari shahih atau mu’tal akhir.
Adapun pengharokat akhiran isim maqshur terbagi mejadi 3, yaitu:
1.       Dhomah muqodaroh, apabila dalam keadaan mafru’
2.       Fathah muqodaroh, apabila dalam keadaan manshub
3.       Kasroh muqodaroh, apabila dalam keadaan majrur.
 Isim Manqush
Isim manqush ialah isim mu’rab yang akhirnya huruf ي yang terletak setelah huruf shahih yang kasroh, seperti: القَادِى, الرَاعِى. Jika ي tersebut tidak disebut atau berharokat sukun maka bukan isim manqush, seperti: اَخِيْكَ, dan begitupula jika huruf sebelumnya tidak berharokat kasroh, maka itu bukan manqush, seperti: ظِبْيٌ.
Isim manqush jika dalam posisi marfu maka harokat akhirnya ialah dhomah muqodarroh, karena orang arab sulit untuk mengucapkannya. Dan juga jika dalam keadaan majrur maka menggunakan kasroh muqodaroh, dengan alasan yang sama. Namun apabila dalam keadaan mansub maka tetap menggunakan fathah dzohiroh.
Jika dalam keadaan nakiroh maka ya’nya dibuang, kalau keadaannya marfu dan majrur, namun jika keadaannya manshub maka ya’ tetap disebut. Dan jika dalam keadaan ma’rifat maka ya’nya tetap disebut atau ditulis namun tidak berharokat atau tidak berbunyi.
Apabila isim manqush dalam keadaan mutsana maka ya’ yang telah dibuang disebut kembali. Seperti:قَضْيَانِ
Isim Mamdud
Isim mamdud ialah isim mu’rab yang huruf akhirnya adalah huruf hamzah dan terletak setelah alif jaidah. Contoh: السَمَاءُ, الصَحْرَاءُ.
Jika sebelum hamzah itu bukan alif jaidah maka tidak bisa dikatakan isim mamdud. Seperti المَاءُ, alifnya bukan alif jaidah tapi alif pengganti, yaitu dari kata مَوَءُ, dengan alasan dilihat dari bentuk jama’nya yaitu اَمْوَاء.
Hamzah yang terdapat dalam isim mamdud terbagi menjadi 4 macam, yaitu:
1.        hamzah asli seperti  قَرَأَ,   
2.       hamzah pengganti dari و dan ي, seperti سَمَاءُ yang berasal dari kata سَماَوُ dan بِنَاءَ yang berasal dari kata بِنَايَ.
3.       Tambahan untuk menunjukan muanats, seperti صَحْرَاءُ
4.       Tambahan untuk menunjukan jama’, seperti عَظْمَاءُ
Isim mamdud terbagi menjadi 2 bagian yaitu: isim mamdud qiyasi dan isim mamdud samâi. Adapun isim mamdud qiyasi terbagi menjadi 7 macam, yaitu:
1.       Masdar dari fiil majid yang huruf awalnya huruf hamzah, seperti: اَتَى اَيْتَاءُ, اَعْطَى اَعْطَاءَ
2.       Menunjukan kepada suara, yaitu bentuk masdar fiil atas wazan فَعَلَ يَفْعُلُ , seperti: رَغَا البَعِيْرُ يَرْغُوْ رُغَاءَ
3.       Masdar yang berwazan فِعَالَ, seperti: عَادًى عِدَاءَ
4.       Apabila dari isim-isim yang terdiri dari 4 huruf dan bentuk jama’nya berwazan اَفْعِلَةٌ, seperti:  رَدَاءَ اَرْدِيَةٌ, غَطَاءَ اَغْطِيَةٌ
5.       Bentuk masdar atas wazan تَفْعَالُ  atau تِفْعَالُ, seperti: مَشَى, يَمْشِى, تَمْشَاءُ
6.        Bentuk dari sifat-sifat atas wazan فَعَّالَ atau  مِفْعَالَ lil-mubalaghah. Seperti: العَدَاءِ dan المِعْطَاءِ
7.       Bentuk muanats dari kataاَفْعَلَ  yang bukan menunjukan tafdil, seperti: اَحْمَرَ menjadi  حَمْرَاءَ.
Adapun isim mamdud sama’i ialah isim mamdud yang tidak termasuk kedalam 7 jenis diatas, seperti:     الفَتَاءُ, السَنَاءُ